Selamat Datang Di Blog Peraut Pena

Sunday, 2 February 2014

Sisi Putih Dari Sepasang Hitam

Sepasang sepatu hitam mengagetkanku sore itu ketika hendak masuk kamar. Bukan tentang nama keeve basic yang disandangnya. Berapapun harganya tidak mempengaruhiku. Apalagi aku tidak tergiur untuk memakai sepatu ber-brand tinggi. Terbuat dari kulit asli binatang sekelas buaya, anaconda atau apalah. Sama sekali bukan itu yang membuat jantungku berdegup. Tapi ini persoalan pemiliknya. Dicetak beribu pun dengan warna, merk dan ukuran yang sama, mungkin aku masih bisa mengenal yang mana miliknya.
Mengapa dia tidak memberi tahuku, jika akan datang kesini? Kekamar yang masih kumuh, kotor penuh debu. Dengan coretan dinding tanpa dimengerti jenis art apa yang berlepotan disana. Belum lagi goresan peta para navigator dengan tinta liur, yang masih basah menempel dikasur dan bantal.

Saat seperti ini adalah hal yang harus aku anggap menjengkelkan. Setengah jam sebelumnya aku mengurung niat untuk memandikan ruangan segi empat yang tingginya hampir tiga meter itu. Aku juga telah mencoret beberapa agenda untuk mengurusnya. Termasuk memakaikannya baju baru, mencukur jenggot dan kumis dindingnya dan menyemprotkanya sedikit parfum. Itu semua aku batalkan setelah aku kelalaian dengan sebuah pemandangan indah. Mungkin bagi kami kaum adam pemandangan ini tidak bisa dilewatkan percuma. Tidak jarang banyak orang berdesak-desakan hanya untuk menyaksikannya. Jangan salah, ini bukan tentang pemandangan yang sedang kalian pikirkan. Maaf aku sedang tidak ingin berdebat. Ini hanya tentang pemandangan sebuah pertandingan. Lebih jelasnya pemandangan indah dari lapangan sepakbola. 

Aku kaku ditempat bediriku. Gagang pintu yang sudah kugenggam terlepas dan tidak aku tau kapan itu terjadi. Seolah didepanku telah terhalang oleh jembatan bernama "Ragu". Antara pergi menghindar lalu kembali setelah sepasang sepatu itu menghilang. Atau segera masuk dan menyapa si pemilik sepatu dengan nada akrab dan mengaraknya untuk terlibat dalam pembicaraan serius tanpa menghiraukan keadaan kamar yang sangat tidak nyaman.

Mana mungkin begitu? Kedua pilihan yang muncul tidak bisa aku lakukan dengan mudah. Pilihan untuk meninggalkan tamu yang telah menunggu? Benar-benar gila membayangkannya telah menghabiskan waktu empat jam untuk ditempuh menuju kesini. Mengajaknya untuk terlibat dalam percakapan serius? Dari mana aku memulainya. Sebulan yang lalu saat aku berkunjung kerumahnya, aku hampir bisa menghitung berapa kalimat yang keluar antara kami. Padahal saat itu aku berada hampir seharian dirumahnya.

Aku masih berdiri dengan pilihan yang masih memojokkanku. Aroma tubuh si pemilik sepatu itu tercium jelas. Tidak mungkin dia sekedar singgah untuk meminjam sandal tanpa masuk kedalam kamar untuk menjumpaiku. Pilihan ketiga pun sepertinya tidak akan datang menyelamatkanku. Ah, Rasanya aku perlu melogikan sesuatu yang mungkin tidak akan terjadi. Saat itu aku berharap ada kekuatan yang dapat membantuku menyerap semua kotoran diruangan itu dari luar. Atau menghipnotis sipemilik sepatu agar aku bisa masuk dan membersihkan ruangan secepat mungkin. Bisa juga aku akan memutar ulang waktu, lalu kupastikan agenda untuk mengurus kamar akan berjalan tanpa pending. Akan kuabaikan ajakan mereka yang menggoda tentang pemandangan indah. Dan saat dia datang akan kupastikan tanpa cela, kusambutnya dengan hangat. Ia pun akan memuji kenyamanan kamar dan keramahanku. Yang terakhir, aku cuma berharap jika ini adalah mimpi. Lalu aku akan memperbaikinya ketika terjaga.

Ah, Aku pasti sedang ngigau.

bersambung......

No comments:

Post a Comment