Aku tumbuh diatas tikar, bukan kasur empuk atau sofa yang kamu ceritakan tentangmu. Jalan semak masih berbatu runcing tempatku mengalaskan kaki. Ditemani kicauan burung dan gemersik ranting ditiup angin. Bukan duduk tenang diatas pelarian roda-roda dengan jerit lengkingan mesin. Bajuku bersablon getah, bukan PSY, K-POP atau ROCK AND BONE. Bahasaku juga masih kaku, tak sepertimu yang kelewat baku melebihi EYD.
Aku tidak menangis, saat permintaan sebiji permen yang aku ingin tidak dikabulkan ibu, ketika aku ikutnya kewarung. Apalagi sampai merengek dan memaksanya sambil menarik-narik baju atau tangannya agar dibelikan mainan saat dipasar.
Aku tidak malu pada masa itu. Meski bisa mengulang waktu, tidak akan aku rubah apapun. Kecuali kunikmati lebih lama lagi. Bukan menolak untuk mengakui segalanya sepertimu.Aku tidak kesal jika saja kau menyeret masalaluku sebagai perbandingan. Karena aku tahu kadar timbangannya sudah jelas berpihak padamu. Aku tetap akan menganggap itu adil. Karena bagiku keadilan itu bukan kenikmatannya tapi perasaannya.
Senang kita bisa berteman. Itu membuat satu nama lagi bertambah dalam catatan orang yang aku kenal. Bukan melupakan banyak orang setelah mendapatkan satu. Meski aku tak mengerti apa yang kau cari dariku sebenarnya.
Aku heran ketika kau menganggapku ramah. Yang aku tahu, mereka bilang aku licik, kejam dan menakutkan. Meskipun aku tak mengerti hal apa yang aku lakukan sampai tuduhan itu terucap lugas dari mulut mereka. Tapi biarlah. Kenapa kamu tidak ikut mereka?
Kau bilang aku bersahabat, bukannya aku sering cari gara-gara? Justru aneh saat kau anggap aku baik sedangkan yang lain menjauhiku. Kenapa kamu lagi yang tak ikut mereka? Jangan-jangan kamu terlalu terobsesi memuji aku, lalu dari sini kau berlari kearah mereka sambil memaling kecil kearah ku dan berujar "aku membohongimu". Disaat itulah kau akan mengiyakan semua kata mereka. Kau akan membiarkanku terpojok habis, bukan. Lalu mengirim luka lewat senyum empuk bibirmu.
Kenapa? kau kesal aku berprasangka demikian. Atau kau tidak bermaksud seperti itu, tapi setelah aku menuduhmu tadi anggapanmu terhadapku berubah. Kau akan mengatakan aku tidak menghargaimu kan? Atau sebutan "tidak tau diuntung" buat ku yang akan kau ucap.
Sudahlah, kau terlalu misterius buat kupahami sekarang. Akan lebih banyak lagi prasangka yang keluar dari mulutku jika kau masih disini. Bosan rasanya aku terus bicara. Akan kutunggu giliranmu berkomat-kamit, Mengomentari ribuan prasangka dan tuduhanku.
Beberapa menit setelahnya...
Lagi-lagi kau hanya tersenyum. Tapi kali ini mulutmu sedikit terbuka, seperti ingin mengucap sesuatu tapi tidak jadi. Ah, jangan buat aku bertambah geram. Katakan saja kejengkelanmu itu. Aku akan mendengarnya meski terlalu keras untuk sekelas gendang telingaku.
hening...
hening...
hening...
hening...
Kau berbalik badan, melangkah meniggalkanku. Menoleh lalu mengedipkan mata sambil terus berjalan. Tanganmu memencet ponsel berwarna Hitam itu. Lalu ponselku berdering. Itu panggilan nomormu. Ku angkat, kubiarkan detik berjalan kosong. Kau melihatku lagi, sampai kutempelkan benda mati itu ketelingaku.
Aku gemetar, jantung berdegup tak menentu. Goncangannya semakin tak beraturan. Suaramu yang kau kirimkan telah merusak kabut hatiku.
"Biarlah kamu beda, Aku menyukaimu" Teriak ponselku.
No comments:
Post a Comment